Sabtu, 26 Desember 2009

DEMOKRASI PARLEMENTER PERIODE 1950 – PEMILU 1955

Pada bulan Maret 1956 Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang ada pada saat itu akan di bibubarkan dan dig anti dengan sebuah badan baru yang beranggotakan 257 orang yang telah terpilih pada bulan September 1955. Di antaranya ada juga anggota yang sebelumnya pernah menduduki dalam DPR sementara. Parlemen baru itu tidak di ragukan lagi akan menggunakan sekertariat dan prosedur administrasi yang sama, dan meneruskan cara-cara dan prosedur yang telah di bangun oleh DPR sementara. Perubahan-perubahan besar di perkirakan hanya pada konstituante, yang akan bekerja sekitar November 1956, menentukan demikian.
Masalah yang di hadapi para penyusun konstituante memang banyak. Misalnya, masalah di mana tempat agama dalam negara, masalah apakah yang akan melanjutkan system parlementer yang ada sekarang dengan cabinet yang bertanggung jawab kepada presiden yang tak dapat di ganggu gugat, atau menerima suatu pemerintahan di mana yang bertanggung jawab adalah presiden. Konstituante juga akan di hadapkan pada sejumlah tuntutan-tuntutan partai,terutama Masyuni dan Nahdatul Ulama untuk membentuk suatu senat guna member tempat kepada kelompok-kelompok keagamaan , regional maupun minoritas lainnya.
Di lihat dari komposisi, DPR sementara yang di lantik 1950, mencerminkan konselasi polotik yang sama pada masa perjuangan kemerdekaan. Keanggotaanya mencakup baik dari NKIP-RI maupun dari wakil-wakil senat serta DPR RIS, yang anggotanya sebaian besar berasal dari negara-negara yang di dirikan oleh belanda dalam wilayah yang di kuasai pada masa 1945-1949. Jumlah total anggota adalah 236 orang: 148 dari DPR RIS, 26 orang dari senat RIS, 46 orang dari badan KNIP-RI, serta 13 orang dari dewan pertimbangan agung RI. Republic Indonesia yang kedudukan pada saat itu berada di Yogyakarta adalah anggota federasi yang paling kuat pada kemerdekaan RIS yang singkat itu (Desember 1949-Agustus 1950).
Fungsi Legislatif
Untuk melaksanakanfungsi legis latif anggota-anggota DPR sementara di bagi ke dalam enam bagian. Kekuasaan legislative di jalankan pemerintah bersama-sama dengan DPR, tetapi dalam praktek pemerintah merupakan legislator utama. Walaupun parlemen memiliki hak inisiatif, ia hanya menggolkan lima RUU inisiatif.
Untuk menjadi UU, RUU yang di susun oleh pemerintah paling sedikit harus melalui lima tahapan :
1. Penyampaian oleh Presiden
2. Pembahasan oleh Panitia Permusyawaratan ( yang beranggotakan ketua, wakil ketua dan sekurang-kurangnya tujuh anggota)
3. Pembahasan dalam bagian-bagian
4. Perdebatan dalam penerimaan dalam sidang pleno terbuka
5. Pengesahan oleh pemerintah
Untuk RUU yang tingkat kesulitannya tinggi misalkan tentang pajak, pembahasan dilakukan di salah-satu seksi atau di salah satu panitia khusus. Setelah di lanjutkan ke sidang pleno langsung atau melallui enam tahapan tersebut. Pada tahap pembahsan di tingkat pemerintah dapat di undang untuk memberikan penjelasan setelah mana setiap bahagian menyerahkan laporan kepada pemerintah, berisikan saran-saran serta keberatan-keberatan. Setelah pemerintah menyerahkan memori jawaban yang merupakan penolakan atau penerimaan terhadap saran-saran anggota, RUU itu siap di bahas dalam sidang pleno terbuka.
Amandemen – amandemen yang dapat di kemukakan pada tahap pembicaraan ini biasanya tidak menimbulkan konflik yang berarti dengan pemerintah. Lagi pula jika tidak mendapatkan kesepakan antara pemerintah dengan kebanyakan anggota parlemen, pemerintah dapat menggunakan haknya untuk mencabut RUU tersebut dari parlemen setiap saat, sebelum di terima aleh parlemen.
Pengaturan proses-proses legislative akhir-akhir ini menjadi semakin efisien. Pada tahun legislative 1954, parlemen berhasil menghasilkan 71 RUU (34 biasa dan 37 anggaran negara), di banding dengan tahun 51 yang hanya 24 RUU. Namun demikian pembahasan RUU pada tingkan bahagian yang di maksud untuk mempermudah pembahasan di sidang pleno terbuka dan membantu pereintah untuk mendengar pendapat anggota parlemen, telah terbukti kurang mengenai saran. Temuan-temuan yang di hasilkan tidak mengikat bagi sidang pleno terbuka,. Karena itu kebanyakan partai berangapan tidak perlu menentukan sikap pada tinggkat bahagian ini. pendapat-pendapat yang ddi utarakan pada tingkat bahagian tidak selau sesuai dengan apa yang di nyatakan pada sidang pleno terbuka, sementara para naggota merasa terikat dengan para disiplin partai di samping menyadari bahwa mereka sedang berbicara kepada masyarakat umum.
Undang-undang Darurat
Menghadapi situasi di mana tindakan cepat menghadapi keharusan, pemerintah sering menggunakan haknya untuk membuat undang-undang darurat. Tetapi Undang – undang Dasar Sementara menentukan bahwa UUD darurat harus di ajukan kepada parlemen untuk mendapat persetujuan paling lambat pada sidang berikutnya. Selain menggunakan kekuasaan ini secara luas pemerintah juga sering kali lambat dalam mengajukan kepada parlemen, kadang-kadang baru selesai dua tahun, dalam beberapa kasusu malahan tidak di ajukan sama sekali karena situasi yang berkaitan dengan UUD darurat itu sudah berubah.
Dalam kasus UU darurat tentang pelaksanaan mengenai perjanjian konferensi meja bundar 1949 dan UU Darurat lainnya mengenai penghapusan federasi, tindakan pemerintah itu dapat di mengerti karena pemerintah harus menentukan sikap dengan se singkat-singkatnya. Akan tetapi, ada kasus di mana tindakan seperti itu menjadi lemah, seperti UU darurat mengenai pajak dan kedudukan hokum bagi Bank Industri Negara. Mungkin pemerintah melakukan hal tersebut karena tidak percaya terhadap anggota parlemen untuk menangani masalah-masalah teknis pemerintah secara efisien. Dasar kecurigaan seperti ini dapat terlihat pada kenyataan bahwa kadang-kadang untuk menyelesaikan RUU saja parlemen menghabiskan waktu dua sampai tiga tahun.
Walaupun selalu menyetujui UU Darurat yang di berikan kepadanya, parlemen merasa terpanggil untuk mengkritik pemerintah secara pedas dalam penggunakan kekuasaan darurat ini. bahwa cabinet-kabinet berikutnya yang telah menberikan perhatian besar pada kritik itu dan menghargai usaha-usaha parlemen untuk mempercepat prosedur-prosedur itu memang telah di buktikan dengan hilangnya beberapa UU Darurat itu.
Kekuasaan penting yang dimiliki badan legislative, yakni kekuasaan untuk menentukan anggaran belanja negara, tidak sampai di jalankan oleh parlemen pada saat itu. Dalam hal ini kesalahan terletak pada masing-masing cabinet, karena anggaran belanja selalu di ajukan terlambat, yaitu pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan. Seringnya penundaan pembahasan anggaran belanja dan urusan keparlemenan lainnya.
Di pihak lain parlemen dapat di salahkan karena tidak menggunakan kewenangannnya untuk mengkontrol keuangan dengan tidak membahas laporan-laporan dari Badan Pengawas Keuangan. Hasil laporan terhadap keuangan kementrian-kementrian ini tidak hanya berkenaan dengan soal legislasi, tetapi mengenai wajar tidaknya pengeluaran itu di lihat segi kebijakan dan administrasi.
Fungsi Pengawasan
Sebagi lembaga control terhadap eksekutif, pera DPR Sementara terlihat lebih menonjol. Fungsi pengawaan menggunakan sepuluh seksi dan menggunakan hak khusus, seperti hak bertanya, interpretasi, mosi, angket, dan sebagainya.
Pembagian parlemen dalam jumlah seksi-seksi di sesuaikan dengan jumlah eksekutif yang ada dalam kementrian, dan setiap anggota berhak memilih keanggotaan dalam setiap seksi. Selain membahas RUU mengenai masalah teknis, tugas penting seksi-seksi adalah membahas mengenai kebijakan public. Berdasarkan isu-isu dengan cara mengadakan dengar pendapat dengan kelompok-kelompok masyarakat, mengadakan penelitian setempat dan membicarakan masalah-masalah ini kepada mentri-mentri yang terkait dalam rapat kerja yang di adakan secara teratur. Rapat – rapat ini di maksud untuk bertukar informasi antara badan legislative dengan badan eksekutif, terbukti berguna Karen suasananya informal.
Di pihak lain rapat juga sering di gunakan oleh pihak oposisi untuk menyerang kebijakan seorang mentri dan menyerangnya dengan pertanyaan dan kritik yang tajam. Memang. Dengan jalan ini sedikit mengkontrol langsung yang dapat di lakukan, karena keputusan dan pendapat seksi tidak akan mengikat pada sidang pleno terbuka. Lagi pula temuan-temuan seksi tidak dapat di gunakan secara langsung di sidang pleno terbuka. Namun, demikian dirasakan pengkontrolan pada seksi-seksi ini bermanfaat.
Di antara alat-alat control parlemen yang bersifat khusus, hak mengajukan pertanyaan adalh yang paling kecil efektifitasnya. Tidak seperti yang terjadi di Inggris, pertanyaan dan jawaban di ajukan secara tertulis dan tidak pernah di ajukan pada sidang pleno terbuka. Yang telah efektif adalah hak interpelasi, karena dapat di tindak lanjuti dengan kkecaman parlemen terjadap mentri yang bersangkutan . perdebatan interpelasi berakhir dengan voting mengenai pernyataan memuaskan atau tidak memuaskan atas penjelasan pemerintah, tetapi tidak dapat penurunkan pemerintah secara langsung, berbeda dengan mosi tidak percaya.
Walaupun demikian jika momentumnya tepat mengenai perdebatan tentang kebijakan pemerintah dapat memojokan dan menjadi awal dari serangkaian move lainnya dari parlemen. Tindakan seperti ini terjadi pada masa cabinet Ali Sastroamijoyo (PNI !(1953-1955), ketika itu masyuni sebagai partai oposisi mengajukan interpelasi terhadap tindakan mentri perekonomian. Pernyataan pemerintah dinyatakan tidak memuaskan pada 18 November 1953. Kemudian pada April 1954 masuni mengajukan mosi tidak percaya terhadap kebijakan mentri perekonomian tersebut. Akhirnya permintaan mosi di tolak yang setuju dan tidak berbanding 60 : 101. Akhirnya pengajuan mosi tidak percaya di ajukan oleh gabungan partai-partai oposisi, mengkritik seluruh kebijakan pemerintah, khususnya yang menyangkut tindakan ekonominya. Pada bulan Desember 1954 di kalahkan dengan pemungutan suara dengan perbandingan 92 : 115 serta enam abstain.
Sementara dalam kurun waktu dua mosi itu oposisi berhasil mengalahkan agar parlemen melaksanakan hak angketnya untuk menyelidiki masalh kemntrian khususnya tidakan-tindakan mentri perekonomian. Akhirnya pada tahun 1955 di bentuk panitia angket dengan hak memangil seksi-seksi (jika di perluakan) untuk member keterangan di bawah sumpah. Ini merupakan satu-satunya sejarah angket dalam DPR Sementara. Sayangnya waktu la[oran panitia angket berakhir pada Maret 1956, Kabinet Ali Sastroamijoyo telah dig anti dengan cabinet Barhanudin Harapan. Dengan demikian hasil panitia angket tidak relevan lagi.
Mosi merupakan hal yang penting dalam system politik parlementer di Indonesia, sebab dengan itulah parlemen dapat memaksakan konflik dengan pemerintah. Dua cabinet telah jatuh akibat mosi. Cabinet Natsir (Masyuni September 1950 – April 1951) yang di dominasi mosi masyuni jatuh akibat mosi hadikusumo agar Peraturan pemerintah di cabut No.39 tahun 1950.
Komposisi DPR Sementara
Pada masa pembentukannya , keanggotaan DPR sementara dapat di bagi kedalam golongan republic dan golongan federasi, akan tetapi perbedaan ini sring kabur karena anggota federalis bergabung dengan fraksi-fraksi semula hanya mencakup orang-orang republic. Hal ini di sebabkan hanya sedikit orang federalis yang didukung oleh partai terorganisir atau partai bangsawan local yang di angkat oleh Belanda.
Dua partai besar masyuni dan PNI membengkak masing-masing dari 23 dan 11 kursi menjadi 49 dan 36 kursi. Partai kecil ada yang memperoleh kekuatan parlementer melebihi proporsi pengaruhnya dalam masyarakat luas,sehingga mereka dapat dengan mudah memainkan percaturan dalam parlemen.



Kekuatan dan kelemahan DPR Sementara
DPR sementara telah menunjukan banyak kelemahan dan kekurangan. Beberapa di antaranya memang inheren denga prosedur system parlementer itu sediri, sebagian lagi berlangsung akibat situasi yang terjadi saat itu. Di bidang perundang-undangan jelas bahwa pemerintah memegang peran donimasi. Praktis semua RUU berasal dari pemerintah, sementara untuk membuat Undang-Undang Darurat juga sering di gunakan. Berkat perbaikan pengorganisasian prosedurnya, akhir-akhir ini DPR sementara berhak menciptakan kondisi dimana semakin tidak perlu pemerintah mengambil jalan pintas ini. tetapi sebenarnya parlemen dpat menyumbangkan secara besar terhadap proses legislative, seandainya badan-badan ini menggunakan haknya seperti, amandemen dan inisiatif secara lebih efektif. Serta disayangkan parlemen kurang memberikan arahan pada proses penentuan kebijakan umum.
Ada beberapa alas an mengenai parlemen enggan melakukan campur tangan. Kurangnya pengalaman serta kurangnya staf yang mampu memberikan pemikiran baik dalam pembuatan RUU maupun dalam menghadapi efek yang mungkin di timbulkan dalam masyarakat. Membuat para anggota parlemen mengalihkan perhatiannnya kepada masalah-masalah yang bersifat politis. Terlebih di Indonesia ada istilah pemerintah yang kuat yang sangat terpusat. Akibat kolonial dan prosedur-prosedur yang di terima selama periode revolusi ketika eksekutif benar-benar bertindak sebagai pengarah, pembuat undang-undang dan pemimpin perjuangan.
Akhirnya, apa yang kita harapkan dari parlemen baru yang di bentuk berdasarkan pemilihan umum September 1955 itu ?. walaupun secara luas system pemilihan propesional di anggap mempunyai kecenderungan multiplikatif, system ini paling tida dalam pemilu pertama di Indonesia ini telah berhasil mengurangi jumlah partai politik yang efektif. Hanya empat partai yang tetap penting peranannya. Dari empat partai yang akan mendominasi kehidupan politik hanya NU yang kurang menguasai taktik dan tata cara berparlemen. Jika fraksi Nu di tambah dari 8 anggota menjadi 45, ada kemungkinan pimpinan partai itu akan mengalami kesulitan untuk mendisiplinkan mereka kea rah tindakan terpadu. Maka dari itu, NU mungkin menjadi factor yang tak menentu bagi partai-partai yang ingin bergabung untuk membangun pemerintahan baru.
Satu hal yang merupakan kekuatan dari parlemen baru adalah bahwa anggota-anggotanya benar-benar di pilih. Kenyataan ini, berikut kekayaan praktis yang akan di sumbangkan oleh sebagian anggota merupakan indikasi bahwa peningkatan dalam bidang peran dalam legislative, cukup besar.
Created by budak bageur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar