Aliran tersebut dapat di bagi menjadi tiga pembagian yaitu, berdasarkan waktu, aliran pemikiran serta pertentangan tertentu. Alasan bahwa dua puluh tahun dalam jangka waktu tertentu dapat di bagi menjadi tiga periode yakni revolusi bersenjata Agustus 1945 – Desember 1949, masa Liberal 1958-1959 serta masa demokrasi terpimpin yang sampai pada masa kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965, ternyata dalam pandangan pemikiran politik menjadi pertentangan yang membagi menjadi lima aliran yakni, Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme Demokratis, dan Komunisme.
Pada tahun 1926 masyarakat Indonesia beranggapan bahwa ada tiga aliran politik, Soekarno menulis permasalahan tentang Nasionalisme, Islam, dan Marxisme sebagai tiga aliran yang menjadi rumpun ideologi yang di anutut seluruh organisasi politik Indonesia. Departemen Penerangan antara tahun 1950-1955 mengadakan tiga pembagian lain yang berbeda, dengan menganggap bahwa seluruh partai politik adalah aliran marxisme, kelompok Nasionalisme atau pun Islam.
Ternyata banyak terdapat kesulitan dalam tiga aliran partai politik ini yang terdapat pada bentuk khusus klasifikasi tersebut bahwa masing – masing aliran ternyata terlalu heterogen sifatnya. Contohnya antara pemikiran kaum komunis dan sosialis terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Dalam Demokrasi terpimpin tiga pengelompokan tersebut diberi status resmi dalam bentuk yang baru. Koalisi partai – partai yang mendukung pemerintah sering di sebut NASAKOM ( Nasionalisme, Agama dan Komunisme ), ternyata pengklasifikasian ini pula menimbulkan kelompok keempat yakni partai-partai terlarang yang mencakup Masyuni dan PSI ( Partai Sosialis Indonesia ) mereka menjadi oposisi ide Demokrasi Terpimpin.
Tetapi kaitan antara partai-partai penting dengan aliran masing-masing yang khusus pemikiran politik tidaklah penting. Salah satu dari dua partai tersebut, jelas saja PNI yang dipengaruhi lebih dari satu aliran. Ada pula partai yang lain yakni Nahdatul Ulama yang tidak memperkembangkan konsep-konsep yang berhubungan dengan politik modern. Akhirnya terdapat hanya dua aliran pemikiran yang penting yaitu tradisionalisme jawa dan sosialisme demokrasi.
Kemudian dengan menimbang kepada hubungan dari aliran dengan sesamanya serta dengan keempat partai besar tersebut di bedakan kembali sesuai kebutuhan menjadi lima aliran yang menggambarkan kaitannya dengan ketegangan antara warisan –warisan tradisional khusus, serta kaitannya dengan dunia modernterutama dengan dunia barat dan ide-idenya. Dalam bagian ini memberi penekanan pada sifat ganda warisan-warisan tradisional Indonesia. Hal ini menjadi dasar karen tradisi jawa ternyata lebih tua serta terjalin dengan erat terhadap tradisi Hindu Budha sangat terpisah jelas dengan Islam (meskipun kebanykan masyarakat jawa menganut agam islam dalam beberapa abad).
Dalam konsep ini kedudukan PKI menduduki tempat paling atas lebih tinggi dari ketiga partai tersebut karena kesan kuat bahwa golongan komunis lebih drastis di bandingkan dengan partai lain, dalm memutuskan ikatan dengan masa lampau, serta dengan mengambil konsep-konsep pemikiran secara langsung maupun secara tidak langsung dari Barat, padahal mereka masih menggunakan himbauan abangan tradisional dan sejenisnya. Lain halnya dengan gagasan inti sosialisme demokrasi yang jauh dan kurang berhasil dalam upaya menempatkan diri kedalam massa. PSI sangat berpengaruh terhadp politik kota dan ibu kota tetapi mendapatkan pengalaman buruk dalam pemilihan umum 1955 yang hanya memperoleh 2% dari seluruh jumlah suara, tetapi SPI juga dapat mempengaruhi pemimpin-pemimpin partai politik terkemuka.
Islam di Indonesia di bagi kedalam dua kelompok yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya, antara kelompok yang reformis yang aktif berpolitik yang berpusat kepada Masyuni dengan yang konservatif yang bertumpu kepada NU. Kaum reformis mencakup aliran moedrnis maupun fundamentalis yang kuat di Jawa Barat dan pulau luar Jawa. Unsur yang paling kontroversial adalah gambaran tradisionalisme Jawa sebagai aliran pemikiran sendiri. Tetapi sebagai mana sosialisme demokrasi mempengaruhi banyak anggota kalangan nasionalis, Islam, Kristen, perwira-perwira Angkatan Darat. Serta cendikiawan yang tidak terkait dengan partai politi, demikian pula tradisionalisme Jawa sangat merusak PNI, NU, dan paling kuat masuk golongan ABRI, Polisi, dan golongan pamongpraja.
Klasifikasi lima golongan ini, Nasionalisme, Komunisme Radikal, Tradisionalisme Jawa,Islam, Sosialisme Demokrasi sepertinya mendongkrak ketidak jelasan pandangan ideologi dalam periode ini, sehingga menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang jauh lebih baik dan harmonis. Tetapi perlu di ingat bahwa keselarasan yang terdapat antara tradisinalisme jawa dengan prokomunisme di satu pihak, serta antara Islam dengan antikomunisme di pihak lain merupakan fakta yang terjadi dalam politik Indonesia.
Cara Berfikir Khas Indonesia
Pertama dalam cara berfikir yang khas dari Indonesia terdapat berbagai sifat ideologi dalam pemikiran politik Indonesia dan fungsi-fungsi sosial dan politik dari ideologi hal tersebut menjadi sifat-sifat khas Indonesia, nilai-nilai khusus dan terutama kategori-kategori konseptual yang sangat jelas dan perumusan masalah. Dalam masalah yang sekarang di bahas bersifat moralis, berkecenderungan untuk melihat masyarakat sebagai tidak berbeda-beda dan pemikiran ini bersifat optimis. Ternyata sebagian besar pemikiran politik cenderung berpendapat bawha tiada aspek politik yang termasuk daerah yang netral dilihat dari segi moralis. Politik jarang di anggap sebagai suatu bidang yang mana terdapat suatu paradoks dan ironi. Dan jarang dilukiskan sebagai suatu yang mirip dengan mesin yang bercirikan proses-proses, dengan individu yang sedikit banyak di batasi untuk melakukan peran-peran tertentu. Ini pun tidak di anggap sebagai terdiri dari lembaga-lembaga khusus yang dapat dipersoalkan apakah berfungsi atau tidak. Orang cenderung menyoroti kekurangan dan kekuatan moral dari pelaku-pelaku utama, apakah mereka beritikat baik atau hanya haus akan kekuasaan. Memang terdapat anggapan luas bahwa susunan politik dalam suatu masa tertentu membentuk suatu sistem atau rezim, hal tersebut sangat cocok sekali dengan kecenderungan untuk memandang muktahir Indonesia sebagai sebagai perangkat kurun waktu yang khas.
Fakta dari kehidupan politik terdapat faktor institusional, misalnya paham multi partai, atau sentralisasi kekuasaan secara berlebihan. Dalam hal ini moralitas pula dapat di masukan kedalam pembahasan ini yakni mengkaitkan kepada suatu pola atau kecenderungan yang impresional dengan keagungan dan keberanian seseorang dengan keserakahannya, sifat pengecut dan sifat mementingkan diri sendiri. Kedua pada umumnya bahwa pemikiran-pemikiran normatif dapat mendominasi politik periode ini, sehingga pemikiran-pemikiran yang mempertimbangkan manfaat umumnya diabaikan. Pemikiran-pemikiran politik Indonesia cenderung untuk tidak melihat masyarakat mereka sebagai terbagi dalam berbagai golongan yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Satu hal yang paling di soroti yaitu pembagian yang saling mengisi antara para pemimpin dengan rakyat. Yang di pertanyakan adalah kualitas, tanggung jawab dari para pemimpin, harus dekat kepada rakyat dan sekaligus mengangkat dan membebaskan mereka dari lembah kebodohan dan peluang yang harus mereka miliki untung mengtransformasikan. lingkungan kerja mereka. Tetapi hubungan konflik sedikit sekali mendapat perhatian. Yang tergambar hanyalah konflik antara partai politik dan kelompok ideologi dan kepada konflik antar generasi. Tetapi sedikit sekali kepada konflik antar golongan etnis dsn bolehdikatakan sama sekali tidak kepada pertentangan kelas, kecuali di kalangan kaum komunis.
Rakyat umumnya dibayangkan sebagai sebagai suatu kesatuan utuh, dan para pemimpin sebagai berkewajiban untuk mewakili kepentingan kesatuan ini, karena seringkali hampir tidak diberi pengertian kepada pandangan suatu perasaan yang sesunguhnya dari rakyat pedesaan. Seorang pemimpin yang di anggap hanya memikirkan kepentingan golongan sendiri dan bukan kepentingan rakyat sebagi keseluruhan sering di anggap sebagai mengutamakan kepentingan pribadi, karen hampir tidak terdapat konsepsi bahwa kelompok atau golongan memiliki kepentingan yang sah.
Ketiga pemikiran politik Indonesia umumnya bersifat optimis. Beberapa anggapan orang Islam dan Kristen menyatakan bahwa manusia sendirilah yang akan merusak rencana-rencananya yang paling muluk, tetapi ini hanyalah merupakan pendapat minoriyas, dan boleh dikatakan bahwa tidak ada pemikiran politik yang mirip dengan konstitusionalisme Barat yang mementingkan peradaban, sikap moderat (mesure), serta pengawasan dan keseimbangan (check and balances). Suatu bentuk dari optomisme adalah voluntarisme, atau anggapan bahwa segala sesuatu akan tercapai , aslkan di hadapi dengan fikiran yang jernih, itikad baik, penuh keyakinan, serta dengan solidarisme persaudaraan. Pendapat ini sering di tuangkan ke dalam asusmsi atau keyakinan bahwa masalah – masalah Indonesia akan terpecahkan dengan mudah, adaikan kita semangat seperti masa silam yang di sebut dengan semangat 45 dapat di bangkitkan kembali.
Bentuk kedua sepertinya berlawanan dengan hal di atas namun sama-sam di temukan di dalam diri seseorang yang sama adalah progresitifisme, di mana tahap sejarah masa bersangkutan di anggap sebagai menanjak dengan cara yang telah di tentukan dahulu. Hal ini juga sangat umum, tetapi melihat sejarah masa mereka sebagi ungkapan dari suatu rangkaian perkembangan, dan tahap rendah menuju tahap yang lebih tinggi, dari masyarakat tua yang statis dan berkarat, menjadi masyarakat baru yang dinamis. Kepercayaan terhadap pendidikan dan kaum pemuda terdapat dalam golongan voluntaris maupun progresitifis.
Salah satu cara untuk memahami sifat yang khusus ini yaitu dengan memandangnya sebagai umsur-unsur dari cara pemikiran tradisional Indonesi, yaitu unsur-unsur yang telah demikian kuat berakar, sehingga dapat menetukan pilihan mereka terhadap ideologi-ideologi modern, bertahan terhadap kemenangan dari ideologi-ideologi itu dan kemudian terserap kedalamnya. Bentuk lain menggambarkan bahwa melusnya pandangan sehingga menganggap perumusan-perumusan tertentu sebagai khas, tidak hanya khas Jawa atau khas agama Islam, atau khas Indonesia, melainkan khas pemikiran Timur pada umumnya. Hal tersebut menjadikan ini menjadi apa yang telah kita lukiskan sebagi kecenderungan untuk melihat masyarakat sebai tidak berdiferensiasi. Jelas berkaitan dengan falsafah mengenai harmoni dalam tradisi Jawa serta tradisi-tradisi dari golongan-golongan etnis di Nuantara ini. Itu juga ada hubungannya dengan sinkreatisme agama dengan mistik yang kedua-duanya merupakan aspek yang sangat penting dalam pemikiran Jawa lama dan keduanya menunjuk kepada kesatuan terakhir dari fenomena yang dari luar tampaknya berlainan dan berlawanan. Dan ia dapat dilihat sebagai pencerminan dari sudut penglihatan tradisional dan pemikiran politik lama di Indonesia, yaitu dari para filusuf kraton.
Optimisme dalam pemikiran politik kontemporer dapat di tafsirkan sebagai pencerminan dari pandangan Indonesia lama bahwa manusia menyesuaikan diri kepada irama kosmos, dapt mencapai pengertian mengenai sifat dan kekuatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan dapat mempengaruhi kekuatan ini dengan cara gaib dan mistik. Disinalah yang menjadi progresitifme bagi orang-orang Indonesia dalam masa tersebut. Karena menyesuaikan diri dengan irama kosmis berarti telah memiliki kesanggupan mental untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup. Menimbulkan kesan bahwa sejumlah perumusan yang mula-mula kelihatan sebagai khas Indonesia atau khas Timur, sewajarnya di lihata dalam kaitannya dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dan dengan tipe-tipe dan tahapan-tahapan teretentu dalam transisi sosiopolitik, di samping di anggap sebagai endapan dari nilai-nilai serta persfektif tradisional. Yang jelas adalah holisme, kecenderungan untuk tidak mengacuhkan konflik sosial, merupakan ciri khas dari kelompok-kelompok yang berkuasa dan mendapat hak-hak istimewa, baik holisme maupun progresitivisme dapat di pandang sebagai manifestasi dari citra perubahan yang berfokus pada golongan.
Pada akhirnya yang dapat di katakan bahwa orang hanyalah mencari penjelasan mengenai aspek-aspek khas dari pemikiran Indonesia harus siap menggunakan kacamata sejarah budaya serta sosiologis kontemporer, harus memperhitungkan baik bentuk pemikiran lama terwujud, maupun proses pemikiran yang telah mempengaruhi dan mentransformasikannya.
Sabtu, 26 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar