Senin, 24 Agustus 2009

DINAMIKA BURUH, SAREKAT KERJA DAN PERKOTAAN MASA KOLONIAL

Kehidupan masyarakat Indonesia dari jaman kolonial bahkan sampai sekarang berbasis agrikultural (pedesaan), namun sejak tahun 1870-an semakin banyak masyarakat yang pindah ke kota-kota, biak besar maupun kecil, dan mencari penghidupan dari peekonomian perkotaan. Pada masa kolonial sebagian besar bekerja pada birokrasi pemerintahan Hindia-Belanda, sebagian lainnya membentuk suatu golongan profesional yang terus begkembang. Mereka terdiri atas para dokter, pengacara, insinyur bahkan para guru. Golongan tersebut menjadi asal dari sebagian besar kepemimpinan intelektual dan organisasi-organisasi nasionalis. Sebagian besar penduduk pendatang perkotaan memiliki cara pandang yang secara menatal sangat berbeda. Memiliki sedikit keterampilan yang biasa dipasarkan dan lebih mementingkan persoalan sehari-hari, dalam upaya mempertahankan hidup di lingkungan yang penuh dengan masalah sosial dan ekonomi yang sangat rumit. Kita sangat perlu memulihkan keadaan buruk orang-orang seperti inidalam upaya memelihara mereka dari sekedar korban pasif akibat struktur pemerintahan kolonial yang membuat mereka sangat menderita. Dalam masalah ini kita memusatkan pada suatu golongan yakni kelompok pekerja perkotaan di Jawa pada masa kolonial yaitu para buruh pelabuhan. Mereka sering sekali terlibat dalam pemogokan-pemogokan kerja, mungkin merupakan masa- masa yang sangat sulit, tetapi respon perspektif pekerja terhadap pasar buruh dan pasar ekonomi pada masa itu. Persoalan mengenai pemogokan para buruh tersebut sebanarnya datang dari para buruh pelabuhan sendiri. Mereka kdang kadang di organisir oleh para mandor atau juru mudi mereka dalam hubungan yang berbentuk pelindungan pada klien. Tetapi disisi lain para mandor tersebut berada dalam perselisihan, setelah para pekerja meninggalkan pekerjaan mereka secara spontan. Pembentukan serikat buruh pelabuhan pun menjadi hal yang kurang di minati dan pengaruh para aktivis partai politik pun menjadi kecil, disamping tuntutan balik dari para majikan, pemerintah dan redaksi koran-koran berbahasa Belanda yang bertolak belakang.

Tiga pelabuhan di Jawa yang terletak di Batavia (Tanjung Priok), Surabaya dan Semarang. Pelabuhan-pelabuhan lain yang kecil tetapi penting peranannya bagi industri gula terdapat di Pekalongan, tegal, Probolinggo, dan daerah-daerah lain di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya sebagian kecil buruh yang di pekerjakan oleh penguasa pelabuhan itu sendiri, sebagian besarnya di pekerjakan oleh perusahaan-perusahaan dagang baik pelayaran milik Cina maupun Eropa, perusahaan kapal derek dan perusahaan yang bergerak di bidang pengisian dan pembongkaran muatan kapal. Umumnya para buruh pelabuhan tidak di pekerjakan secara langsung oleh perusahaan yang terletak di pelabuhan, melainkan secara tidak langsung melalui mandor atau juru mudi. Pengambilan pekerja secara tidak langsung adalah hal yang biasa pada sebagian besar industri di jawa pada masa kolonial. Suatu sistem yang cocok bagi para majikan menbjadokan mereka secara tidak langsung berhadapan dengan pekerja orang pribumi melelui sejumlah kecil pemimpinnya. Selain itu juga memberikan perlindungan terhadap para pekarja biasa. Mandor-mandor itu sendiri terkadang di lahirkan dari daerah pedesaan, namun apabila mereka lahir di kota sekalipun, mereka kan tetap mencari dan mempertahankan hubungan dengan desa, kampung halaman keluarga mereka. Ketika mencari pekerja, mereka akan mencarinya di desa dan daerah mereka sendiri. Terkadang mereka mengunjungi kampung halaman mereka hanya untuk mencari dan merekrut para pekerja. Penduduk desa yang memiliki kesempatan dan kepantingan untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Sebagian besar dari tenaga kerja sekitar 10.000 pekerja keseluruhan di pelabuhan Surabaya adalah orang-orang yang berasal dari daerah Madura, sebagian besar buruh pelabuhan di Semarang berasal dari daerah sekitar seperti, Kudus, Demak, Joan, kendal ,dan Jepara semuanya terhubung dengan semarang melalui jaringan kereta api, yang cukup besar mempengaruhi arus penampungan tenega kerja bagi kota tersebut. Ada sejumlah kecil pekerja tetap di pelabuhan mereka adalah apara mandor, juru mudi dan pekerja-pekerja terampil yang menjalankan mesin-mesin di kapal derek, kebanyakan adalah buruh yang bekerja dengan upah harian, yang tetap di pekerjakan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran dan pengangkutan, termasuk mereka yang berlayar menggunakan perahu dari dan ke pelabuhan sebelah dalam. Terkadanga ada sejumlah pekerja tertentu, seperti mengosongkan gudang dan mengisi muatan kedalam kapal, atau memindahakan beras dari kapal ke gudang, yang disediakan untuk seorang mandor dengan bayaran yang telah di tentukan sebelumnya. Mandor tersebut yang menjalankan tugas seperti layaknya para pengusaha, kemudian mempekerjakan pekerja sendiri dengan basis borongan dan membayar mereka dengan jumlah yang tidak dapat di elakan. Upah di bayar dengan tingkat kerja umum, dimana saja yang berlaku di pelabuhan. Dalam berbagai kasus para mandor adalah pekerja tetap dalam sebuah perusahaan pelayaran atau pengangkutan. Dengan upah mingguan atau harian yang tetap dan bonus yang terkait langsung dengan produktivitas tenaga kerja dari kelompok mereka.sebagian besar pekerja biasanya di bayar berdasarka atas apa yang telah mereka kerjakan, pembayaran yang di tetapkan kepada seorang mandor didasarkan pada jumlah karung beras, gual, kopi, atau komoditi lain yang di angkut ke dalam kapal, kereta atau sebuag guadang, mandor tersebut membayar para buruh setelah mengembil komisi yang cukuo besar yakni 20%, para buruh yang denagn upah harian yang tetap bahkan sebagian di bayar secara tidak langsung, yaitu melalui para mandor. Para buruh yang bekerja di dermaga ternyata di bayar dengan upah yang lebih besar dari para awak kapal di pelabuhan dengan upah lebih dari dua kali lipat dari upah para awak kapal, walaupun mereka bekerja dengan jumlah jam yang sama. Hal itu karena ternyata para pekerja di dermaga merupakan pekerjaan yang jauh lebih berat.jumlah pekerja di pelabuhan selalu berubah-ubah, waktu yang paling sibuk adalah musim penggilingan tebu dan pada bulan-bulan selanjutnya, dari Juni hingga september, masa inilah saat pelabuhan penuh oleh kapal-kapal yang bersandar menunggu untuk di isi dengan muatan gula olahan sebagai bahan ekspor. Tingkat upah dari pelabuhan satu dengan pelabuhan yang lain pun sangan bervariasi, hal ini karena mencerminkan biaya hidup serta pasar tenaga kerja lokal.

Para pekerja pelabuhan hampir seluruhnya merupakan penduduk yang berpindah-pindah, para penduduk yang sirkuler tersebut termasuk dari 30% - 40% dari seluruh tenaga kerja perkotaan. Tekanan yang sangat meningkat pada daerah di pedesaan Jawa dari tahun 1870-an, membuat arus penduduk dari kota untuk mencari pendapatan tunai terus bertambah. Banyak dari mereka yang hanya datang untuk beberapa bulan, khususnya pada bulan-bulan sebelum panen tahunan. Saat sumber makanan dan penadapatan di wilayah-wilayah pedesaan berada pada tingkat yang sngat rendah sekali. Mereka meninggalkan keluarganya bahkan kembali pada hari libur yang sangat jarang sekali, itu juga hanya untuk membantu panen, dan ketika mereka telah cukup memiliki uang untuk kembali dalam beberapa bulan. Penduduk desa yang lain mencari pekerjaan ke kota hanya untuk membayar pajak tanah mereka atau hanya untuk membayan hutang nereka yang di dapat dari pedagang setempat yang meminjamkan uangnya bahkan dari para rentenir. Orang-orang seperti itu mencari penghidupan yang semurah mingkin sepertiyang terlihat di kota-kota dan mengambil pelerjaan apapun yang mereka temukan sampai mereka mendapat apa yang menjadi mata penceharian mereka yang tetap. Uang hasil mereka bekerja di simpan dengan sangat hati-hati sampai saat kembali ke desa, atau terkadang uang tersebut mereka kirim melalui kantot pos. Sebagia pendududk sirkuler yang memiliki keterampilan yang kurang, para pekerja pelabuhan terjebak dengan hubungan ketergantungan terhadap para mandor atau juru mudi yang memberikan mereka pekerjaan. Untuk hal pemukiman pun mereka sangat bergantung kepada para mandor mereka.pekerjaan yang berat disertai dengan pemukiman yang kumuh telah mempengaruhi kesehatan para pekerja, hidup di kampung yang dekat dengan pelabuhan ternyata memiliki hal yang positif mereka dapat menabung uang yang seharusnya mereka gunakan untuk ongkos berangkat ke pelabuhan.

Para buruh terkena imbas dan terlibat dalam perubahan di antara pekerja perkotaan, seperti dicerminkan oleh eksi pemogokan kerja pada tahun 1910-1920. slah-satu pemogokan yang paling awal di daerah jawa terjadi pada bulan juni tahun 1913. ketika para awak kapal yang bekerja untuk perusahaan perahu layar dan kapal laut di Semarang menuntut kenaikan upah sebesar 30%, jatah beras sebagai tambahan, penyediaan ikan-ikan segar dan peningkatan jumlah pekerja tetap di tiap kapal. Semua tuntutan itu di setujui oleh perusahaan kecuali tuntutan kenaikan upah, yang merupakan masalah utama dalam sebuah perselisihan. Akibat dari kenaikan biaya hidup yang terjadi secara mendadak di Semarang para awak kapal mengadakan aksi mogok kerja. Setelah perusahaan menaikan upah mereka maka mereka pun kembali bekerja. Aksi mogok kerja ini terjadi secara sepontan, dengan kepemimpinan yang datang dari sejumlah mandor dan para juru mudi. Mereka sebelumnya telah mengirimkan daftar ketidakpuasan mereka kepada manager pelabuhan, tetapi ternyata tidak di pedulikan, ketika mereka memutuskan untuk berhanti kerja mereka memnuntut kenaikan upahkembali sebesar 4 rupiah per bulan , uang tambaha sebagai upah selam 6 malam dan libur pada hari jumat. Perusahaan menanggapinya dengan mencari para pekerja baru. Pada mulanya perusahaan mencoba mempekerjakan para buruh yang berasal dari Cina, tetapi para juru mudi yang terlibat dalam aksi mogok menolak bekerja dengan mereka, bahkan pada saat di ancam dengan pemecatan, ancaman itu diabaikan dan orang-orang Cina tetap di pekerjakan, tetapi setelah beberapa hari bekerja mereka juga menjauh, karena rasa takut yang diakibatkan oleh kemarahan para buruh yang mogok kerja. Kemudiam sebanyak 168 pekerja di datangkan dari Surabaya namun mereka kembali ke kampung halaman sebelum bekerja.setelah para buruh yang mogok kerja berbicara dengan mereka, mencampurkan anjuran dengan ancaman. Aksi mogok tersebut di sudahi oleh ketua persatuan perdagangan Cina setempat bertindak sebagai penengah.

Sarekat Islam dan kaum nasionalis yang di bentuk pada saat itu tidak pernah terlibat sama sekali dengan aksi pemogokan tersebut. Setelah lebih dari 12 bulan kemudian, partai ini baru mencoba membentuk serikat pekerja di pelabuhan-pelabuhan. Cabang partai di Seamarang adalah cabang yang paling aktif diantara para pekerja perkotaan pada umumnya. Cabang ini mendirika bagian atau departemen buruh dn terlibat dalam organisasi pekerja di sejumlah industri di kota sejak saat itu. Sebaliknya cabang di Surabaya sangat jarang terlihat dalam serikat-serikat buruh, para pekerka di Semarang di kumpulkan dalam sebuah serikat terlebih dahulu dari pada para pekerja di Surabaya, sebagian besar dipengaruhi oleh sebagian kecil para pekerja yang berpendidikan barat yang tergabung dalam perserikatan sosial demokrasi Hindia. Dengan penggerak intinya adalah para kaum sosialis Eropa yang bertujuan mendapatka kedudukan di tengh-tengah para pekerja perkotaan.

Pada tahun 1919, Havenarbeidersbond ( Serikat Buruh Pelabuhan ), didirikan di Semarang di bawah pimpinan Sumaun. Seriakat itu lalu mendirikan cabang-cabang di sekitar pelabuhan-pelabuhan utama di sepanjang pesisir utara Jawa, denagn Surabaya sebagai pengecualian karena sebelumnya telah gagal mencari pemimpin untuk membentuk cabang di daerah tersebut. Aksi mogok kerja sekala kecil kembali terjadi di pelabuhan-pelabuhan, para pekerja sering kali menggunakan Havenarbeidersbond sebagai alat penggerak untuk mendorong kenaikan upah, sampai pada tingkat yang seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang sangat besar pada masa pasca perang.
Para pemilik tenaga kerja dengan cepat menyetujui kenaikan upah yang besar. Kemerosotan terjadi pada perekonomian kolonial. Pengurangan batas keuntungan mengakibatkan adanya perubahan sikap terhadap tuntutan para buruh. Sebelum aksi mogok terjadi secara besar-besaran di Surabaya, sebagai akibat dari usah mereka dalam menerapkan tingkat upah, yang akan mengancam akan merembat ke pelabuhan yang di Semarang.Pemogokan yang terbesar pun terjadi pada masa kolonial adalah pemogokan buruh kereta api yang dipelopori oleh serikat buruh kereta api dan kereta listrik (VSTP) salah-satu serikat tertua di kolonial. Pemogokan ini pula melihatkan ketidakpuasan antara para buruh. Salah-satu isu besar yang dihadapi oleh VSTP dalam tahun terakhir adalah mempertahankan badan kecil, terutama Eropa atau mengembangkanya menjadi serikat yang berbasis massa.

Masa depresi telah menghancurkan penghasilan ekspor hasil panen dari Hindia-Belanda mengakibatkan efek yang mendalam terhadap ekonomi kolonial yang selama ini bergantung padanya. Bagi banyak orang Indonesia di perkotaan Jawa masa depresi adalah saat yang sulit tetapi bukan merupakan malapetaka bagi mereka. Pemotongan gaji, keadaan yang memburuk, kenaikan pangkat yang lambat dan pengurangan kesempatan bagi anak-anak mereka mungkin sebagian telah di imbangi lewat penurunan biaya hidup. Banyak pula yang kehilangan pekerjaan merka da terpaksa menerima pekerjaan yang gajinya lebih kecil atau menambah penghidupan sebisa mungkin lewat pekerjaan sementara atau pekerjaan dengan upah harian, di tempat di manapun mereka dapat temukan. Beberapa banyak yang putus asa terhadap kota-kota untuk sementara waktu dan kembali ke kampung-kampung atau wilayah mereka tinggal, diamana kemudian ongkos penghidupan mereka bisa dibatasi oleh keluarga atau saudara-saudara mereka. Sementara banyak orang yang terlatih dan terdidik dengan terpaksa mencari pekerjaan dengan status dan gaji lebih rendah, yang lainnya beralih ke pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, yang sebelumnya di sediakan bagi orang-orang Cina. Proses ini telah berlangsung selama beberapa dasawarsa dan di percepat setelah perang dunia ke I, saat terjadi kekurangan buruh Eropa yang sangat parah, depresi lagi-lagi mempercepat proses tersebut, para majikan berusaha memotong biaya dengan mempekerjakan orang Indonesia dengan gaji yang lebih rendah di bandingkan dengan yang di bayarkan kepada orang-orang Eropa. Banyak orang Eropa yang kemudiam digantikan oleh orang Indonesia, terutama dalam industri-industri jasa seperti di bidang-bidang perbankan dan juru tulis atau administrasi. Sedikit orang Eropa yang di pekerjakan mengakibatkan jumlah pengangguran yang cukup besar dalam komunitas Eropa, terutama bagi yang muda. Pekerja-pekerja Cina juga berada di bawah tekanan, sebab mereka juga lebih mahal bayarannya di bandingkan dengan orang Indonesia.

Sejarah perkotaan dan sejarah munculnya kelas pekerja di Indonesia, masih dalam taraf pemulaan sekali, pada masa kolonial fokusnya kebanyakan masih dalam upaya memahami struktur organisasi sarekat buruh dan hubungan antara sarekat kerja dan aktivitas politik nasional. Selain pembatasan berarti yang di letakan pemerintahan kolonial, serikat buruh adalah organisasi perkotaan yang terbesar. Banyak pekerja perkotaan yang bergabung dengan suatu sarekat kerja, membiarkan keanggotaan menurun baik karena tidak mau membayar uang retribusi maupun karena ketidak percayaan dengan apa yang serikat buruh dapat lakukan untuk mereka, ataupun sekedar ketidak mampuan untuk membayar iuran bulanannya. Keanggotaan serikat buruh yang begitu besar mencerminkan tingkatan dari peran mereka di dalam kehidupan kalangan pekerja. Mereka tentu saja memiliki peranan yang indutrial dalam uapaya melindungi upah dan kondisi-kondisi pekerja serta dukungan individu-individu dalam menghadapi ketidakadilan perlakuan dari penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar