Senin, 24 Agustus 2009

SISTEM HUKUM PIDANA

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

Di Indonesia, kritisme seputar Sistem Perundang-Undangan juga terus menghangat dan berkembang. Termasuk masalah kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif (Asas Berlaku Surut) dalam Hukum Pidana yang semakin marak terutama pasca membludaknya kasus pidana korupsi dan terorisme.

Makalah sederhana ini mengetengahkan pengantar singkat tentang Hukum Pidana dan seklumit review seputar Kontroversi pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia.

Definisi hukum pidana
Hukum Pidana sebagai “Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.”
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”

Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial, Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
A.Hukum Materi
Yakni cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.

Sejarah Perkembangan Hukum Kriminal
Perkembangan Hukum Kriminal ini secara umum tercatat dalam dua fase, yakni sebelum Revolusi Prancis dan Setelah Revolusi Perancis hingga sekarang.

Pada fase sebelum Revolusi Prancis, Hukum Pidana yang notabene merupakan cabang hukum yang muncul pertama kali ini mengalami perkembangan dalam tiga tahap:
Perkembangan Pertama: Dalam bentuk “Balas Dendam Pribadi/self revenge/al-intiqâm al-fardiy,” yakni pada masa awal-awal jauh sebelum terbentuknya negara. Di mana pola kemasyarakatan yang ada saat itu adalah pola keluarga dan kelompok. Pada tahap ini, jika terjadi pelanggaran dari salah seorang individu terhadap individu lain yang sekeluarga dan sekelompok, maka pemimpin keluarga/keluarganya lah yang berhak memberikan hukuman kepada orang yang melanggar tersebut. Sedangkan jika pelanggarnya berasal dari keluarga/kelompok yang lain, maka keluarga dan kelompoknyalah yang menuntut pembalasan atas pelanggaran tersebut.

Perkembangan Kedua: Dalam bentuk “Denda/Ganti Rugi/al-Diyah.” Ini terutama dilaksanakan apabila keluarga/kelompok individu yang melanggar tidak sanggup untuk menghadapi balas dendam oleh keluarga/kelompok korban. Atau sebaliknya, apabila keluarga/kelompok korban tidak bisa melangsungkan balas dendamnya.

Perkembangan Ketiga: Dalam bentuk “Sanksi yang diperantarai negara.” Tahap ini terjadi di kala otoritas negara semakin menguat dan membesar. Di mana negara mulai berhak menjatuhkan sanksi kepada warganya yang merupakan salah satu cermin kedaulatan negara tersebut. Ada dua jenis sanksi yang dikenakan negara kala itu, sanksi untuk Kriminalitas Umum dan sanksi untuk Kriminalitas Khusus.
Kemudian, semenjak revolusi Prancis sampai saat ini, modifikasi Hukum Pidana termanifestasi via berkembangnya beberapa aliran pemikiran Hukum Pidana dan gerakan-gerakan berikut:




1. Madzhab Konvensional Klasik
Madzhab ini berdiri pada abad 18 yang secara umum mengumandangkan Penetapan Asas Legalitas Tindak Pidana dan Sanksinya serta seruan untuk meringankan kerasnya Sanksi.
Penganut madzhab ini—Salah satunya Syizary Bikaria, berpijak kepada Konsep Kontrak Sosial/al-‘Aqd al-Ijtimâ’iy yang ia tuangkan dalam bukunya: “Kriminalitas dan Sanksi” Tahun 1763. Buku ini menjelaskan hak-hak negara dalam memberikan sanksi—“Pada hakikatnya, sanksi hanya merupakan kumpulan hak-hak individu untuk mempertahankan harta dan jiwa mereka yang mereka gunakan untuk negara.” Dan pernyataan ini mengandung dua hal prinsipil, yakni pentingnya persamaan sanksi atas tiap individu dan warning akan kerasnya sanksi.

Bintam—yang juga merupakan salah satu penganut madzhab ini, menyerukan dalam bukunya, “Norma-Norma Akhlak dan Hukum” tahun 1780, agar Asas Sanksi adalah merupakan manfaat.
Konsep madzhab ini berpengaruh banyak terhadap Hukum Pidana Prancis yang ditetapkan tahun 1791 yang menetapkan Asas legalitas Kriminalitas dan Sanksi dan meringankan kerasnya sebagian sanksi dan (bahkan) menghapus sebagiannya.

2. Madzhab Konvensional Modern
Kritik atas Madzhab Konvensional Klasik adalah bahwa madzhab ini hanya semata mengkritisi permasalahan kriminalitas tanpa diimbangi dengan pengkritisan terhadap pelaku kriminalnya, di samping juga seruan kesetaraan sanksi oleh madzhab ini ternyata berimplikasi pada kerancuan penerapan hukuman atas masing-masing pelaku pidana yang notabene memiliki kondisi dan kesiapan fisik berbeda-beda untuk menerima sanksi.
Madzhab ini dibawa oleh Rossue, dkk dengan bersandar pada pola pikir filsuf Jerman, Imanuel Kant yang menyerukan agar Asas Sanksi adalah berupa keadilan yang mutlak. Artinya, tujuan pemberian sanksi haruslah sebagai kepuasan rasa adil setiap pihak—“Sanksi haruslah memuat prinsip keadilan sekaligus prinsip manfaat.”
Madzhab ini banyak dijadikan landasan norma hukum di beberapa negara semisal, Hukum Prancis yang ditetapkan tahun 1833, Hukum Jerman tahun 1870 dan Hukum Italia tahun 1889.

3. Madzhab Positif Italia
Madzhab ini dibentuk oleh beberapa ilmuan Itali. Lemahnya otoritas hukum kala itu merupakan salah satu faktor pendorong digagasnya madzhab ini. Selain itu, tujuan pemberlakuan sanksi yang telah ditetapkan oleh Madzhab Konvensional Klasik dan Modern juga dinilai belum optimal jika hanya terbatas pada penegakan prinsip keadilan dan prinsip manfaat. Tetapi harus disertai dengan upaya untuk merehabilitasi pelanggar agar pasca pengenaan sanksi, pelanggar bisa kembali hidup normal dan tidak lagi membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakatnya. Karena itu, madzhab ini memfokuskan pada rehabilitasi pelanggar, mengingat dialah sumber kejahatan itu.
Madzhab ini sangat tidak menyetujui Asas Kebebasan Memilih terkait masalah sanksi kejahatan, karenanya madzhab ini juga tidak menyetujui sanksi moral dan budi pekerti sebagai asas dalam sanksi kejahatan, sebaliknya, upaya rehabilitasi yang sesuai dengan tingkat kejahatan pelanggarlah yang harus dioptimalkan.
Madzhab ini berpendapat bahwa pemberantasan kejahatan bukanlah dengan memperberat sanksi, tetapi justeru dengan mengenali faktor-faktor yang mendorong terjadinya kejahatan tersebut dan meminimalisir faktor-faktor tersebut sebesar mungkin. Faktor-faktor tersebut bisa berupa faktor internal si pelanggar maupun faktor eksternal semisal lingkungan sekitar si pelanggar.
Pendiri madzhab ini juga menyeru agar negara melakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya kejahatan di masyarakat.

4. Perhimpunan Internasional Hukum Kriminal
Munculnya perhimpunan ini merupakan respon positif atas beragam madzhab yang telah ada sebelumnya. Jika madzhab-madzhab sebelumnya berupa doktrin dan teori-teori, maka perhimpunan ini adalah semacam gerakan nyata yang mengakomodir konsep-konsep beragam madzhab yang ada sebelumnya.
Perhimpunan ini berpengaruh konstruktif kerena mendorong munculnya beragam afiliasi dan madzhab, salah satunya adalah Asosiasi Hukum Kriminal Internasional yang didirikan di Paris tahun 1924.
Peran dari Perhimpunan ini bukanlah peran yang menyumbangkan konsep tertentu seperti halnya madzhab-madzhab sebelumnya, tapi lebih menyerupai pengumpulan beragam solusi yang ditawarkan oleh madzhab-madzhab sebelumnya tersebut.

5. Gerakan Pembela Masyarakat
Gerakan ini merupakan tehnik pemberantasan tindak kriminal dengan cara yang tepat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dasar-dasar konsep baru untuk menyiasati kriminalitas, yang pada dasarnya diupayakan untuk menjaga ketentraman masyarakat dan rehabilitasi pelaku kriminal


Klasifikasi Hukum Kriminal:
Hukum Kriminal terbagi menjadi dua konsentrasi:
1. Hukum Kriminal Umum, yaitu “hukum yang menjelaskan hukum-hukum umum, yakni kaidah-kaidah yang diberlakukan atas semua tinak kriminal dan sanksinya, kecuali yang dikhususkan Dewan Legislatif dengan teks-teks tertentu.”
Secara gamblang, Hukum Kriminal Umum mengatur permasalahan-permasalahan berikut:
a. Penjelasan tentang kaidah-kaidah umum Sanksi Kriminal tanpa pemaparan detail tentang hukum masing-masing kejahatan.
b. Penjelasan tentang jenis-jenis kejahatan yang terbagi menjadi, pelanggaran, pelanggaran hukum dan kriminalitas.
c. Penjelasan tentang sanksi dan jenis-jenisnya, jatuhnya sanksi dan pembatalannya, unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan Hukum—berat maupun ringannya, serta corak kriminalitas pelaku kejahatan.

2. Hukum Kriminal Khusus, yaitu “Hukum yang menyerupai indeks kejahatan yang dikenai sanksi oleh hukum. Dan indeks ini berisi batasan detail rukun-rukun kejahatan tertentu berikut sifat-sifatnya yang beragam, ditambah penjelasan tentang beragam sanksi atas kejahatan-kejahatan tersebut.”
Dewan Legislatif Mesir juga mengklasifikasi Hukum Kriminalnya ke dalam Hukum Kriminal Umum dan Khusus. Di mana Kitab pertama Undang-undang Pidananya berisi Hukum-Hukum Umum (Pasal 1-76). Sedangkan, Hukum Kriminal Khusus-nya mengatur Pasal 38-77 dari kumpulan asli Hukum Kriminal ditambah dengan Hukum-Hukum Kriminal Pelengkap yang juga tunduk pada Hukum Kriminal Umum.
Para ahli Hukum Pidana telah bersepakat atas klasifikasi ini. Dan pada kenyataannya, Hukum Kriminal Khusus memang lebih dahulu berkembang dibanding Hukum Kriminal Umum. Undang-Undang zaman dulu memang hanya terbatas pada tindakan-tindakan yang mendorong terjadinya beragam kriminalitas dan penjelasan sanksinya tanpa memperhatikan urgensi perumusan kaidah-kaidah Umum Hukum Kriminal.
Hukum Kriminal Khusus memberikan batasan-batasan detail setiap tindak kriminal dan sanksi-sanksi yang tercantum jelas dalam teks Undang-Undang. Hal ini tentu penting, karena akan meniadakan pengingkaran terhadap Asas Legalitas Tindak Kriminal dan Sanksi-nya yang notabene ditetapkan untuk menjamin kebebasan rakyat serta mencegah kesewenang-wenangan pemerintah.
Dengan begitu, Undang-Undang yang tertuang dalam Hukum Kriminal Umum tak lain hanya merupakan pasal-pasal yang bersifat maklumat, sementara Undang-Undang Hukum Kriminal Khusus tidak demikian.

B. Hukum Formil (Hukum Acara Pidana)
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”
Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:

1. Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya. Yaitu, pelaksanaan dan peradilan, tata cara dalam peradilan, lembaga-lembaga yang berwenang dalam melaksanakan dan mengadilinya, juga termasuk prosedur-prosedur yang harus dipenuhi dalam mengajukan dakwa pidana yang kerap disebut sebagai fase pengumpulan bukti.

2. Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.

3. Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Pemberlakuan Acara Pidana dinilai Urgen baik dari sisi stabilitas dan keamanan masyarakat yang tertimpa kejahatan maupun dari sisi si pelaku kejahatan yang terkadang belum pasti pembuktian bersalah atau tidak bersalahnya.
Sistem Acara Pidana beragam, tapi secara umum, bisa dikelompokkan menjadi dua sistem inti:

1. Sistem Tuntutan
Yakni sistem yang berlaku di Inggris, Amerika dan negara-negara yang mengadopsi sistem Hukum Inggris. Sistem ini sebenarnya serupa dengan Sistem Tuntutan Individu yang berlaku pada masa awal-awal. Dalam sistem ini, prosedur dakwa pidana tidak berbeda jauh dengan prosedur dakwa perdata. Dakwa dilangsungkan antara kedua belah pihak, yakni Si tertuntut, yang melakukan tindak pidana, dan si penuntut, yakni si korban. Sementara Hakim merupakan pihak yang berwenang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dengan berdasar pada lemah/kuatnya bukti.

2. Sistem Sidikan.
Secara historis Sistem Tuduhan muncul lebih awal dibanding Sistem Sidikan. Sistem ini teradopsi dari Hukum Romawi pada era republik, lalu diberlakukan juga dalam Hukum Gereja di abad pertengahan, kemudian diberlakukan juga untuk peradilan Hak Milik dalam Sistem Hukum Klasik di Prancis. Dalam sistem ini, pemerintahlah yang berwenang penuh melangsungkan tuntutan. Kemudian sistem ini diberlakukan lebih meluas lagi di Benua Eropa. Sistem ini terus diberlalukan dengan ekstrim sampai terjadinya Revolusi Prancis. Dan pada kenyataanya, sampai sekarang sistem Hukum Acara di Prancis memakai Sistem Sidikan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar