Senin, 24 Agustus 2009

ELITE BISNIS CINA DI INDONESIA DAN MASA TRANSISI KEMERDEKAAN 1940-1950

Beberapa waktu yang lalu, orang-orang Cina dari beragam provinsi sebalah Tenggara Cina telah mulai berpindah dan menetap di kepulauan Indonesia. Sebagian besar ber marga Hokkien dan sebagai pelopor perpidahan ini. Sejarah panjang tentang perpindahan-perpindahan ini telah membentuk suatu kelompok Cina yang besar dan kuat di kawasan Hindia-Belanda. Hingga 1900 populasi Cina telah mencapai lebih dari setengah juta orang di daerah jajahan ini ; 277.000 orang berada di Jawa dan Madura, dan hamper dengan jumlah yang sama tersebar di daerah sekitarnya. Imigrasi besar besaran pertama (1860-1900) tersebar di Jawa dan sebagiannya memperbesar populasi Cina di pulau luar Jawa terutama di pesisir Timur Sumatera, Bangka dan Belitung. Komunitas Cina pada saat itu masih di dominasi oleh Cina kelahiran lokal, bisa disebut peranakan. Gelombang kedua pun di masuki dalam kurun waktu (1900-1930), kelompok ini masih berjumlah lebih dari 50% dari seluruh populasi Cina di Hindia Belanda, sementara kelahiran Cina totok terhitung sejumlah 450.000. dua per tiga dari jumlah peranakan adalah campuran darah Cina dan keturunan pribumi. Meskipun orang luar sering melihat masyarakat Cina di Hindia Belanda adalah sebuah kelompok yang homogen, sebenarnya kelompok ini teramat sangat beragam. Sekitar abad ke-20, telah muncul suatu penghubung structural yang sangat jelas dalam komunitas Cina, antara sejarah kepindahan dengan kehidupan ekonomi mereka. Warga cina dengan status ekonomi lebih tinggi di Jawa kebanyakan adalah Cina peranakan, dan hanya sedikit dari kalangan singkeh (pendatang). Kelas pengusaha sebagian besar adalah peranakan yang kebanyakan tinggal di daerah perkotaan, sementara singkeh lebih banyak di pedesaan. Karena kekurangan modal atau kurang di percaya, lbih banyak menjadi pegawai negeri atau orang upahan.

Beberapa peranakan yang terkaya adalah yang pegawai golongan atas yang di angkat oleh pemerintah Belanda. Tiga syarat penting agar dapat menduduki jabatan ini adalah kekayaan, koneksi bisnis, dan kedekatan dengan orang-orang pemerintahan Belanda, ketiganya adalah unsur mutlak. Sangat sedikit sekali anak-anak pegawai Cina peranakan atau dari keluarga kaya lainnya yang mendapat akses pendidikan di sekolah-sekolah Belanda sebelum tahun 1900. hal tersebut sangat luar biasa mengingat orang-orang Cina tidak di perbolehkan untuk menggunakan bahasa Belanda, apalagi memasukan anak-anak mereka ke sekolah Belanda. Di samping berbagai perbedaan antara totok dan peranakan, seperti bahasa dalam komunitas totok sendiri terdapat beragam dialek, sejarah perpindahan, dan proses asimilasi, satu aspek penting lain adalah kesenjangan ekonomi antara keduanya. Totok dan peranakan saling memandang rendah. Alas an dari hal tersebut yang menunjukan prioritas mereka. Gubernur Surabaya yang pada saat itu menyambut kedatangan kelompok singkeh melontarkan istilah imigran bau, hal ini meicu keresuhan. Dalam waktu yang sama Gubernur lain bahkan bertindak lebih jauh bahwa seharusnya kelompok singkeh tidak di perbolehkan memasuki kawasan Hindia Belanda. Menurut mereka masyarakat peranakan tidak tahu menau tentang Cina, terutama tentang tanah leluhur mereka, serta mereka seharysnya malu karena tidak dapat berbahasa Cina. Oleh hal inilah kelompok peranakan kaya semakin menguatkan sosio ekonomi mereka, sedangkan para pendatang terus menerys mengungkit permasalah bahasa dan budaya ini. Kedua pihak saling menhujat dengan berdasarkan pada alasan kuat pada masing-masing. Kelompok totok tidak dapat berbuat banyak selain terus memperkuat posisi ekonomi mereka, sedangkan kelompok peranakan menanggapi dengan gerakan nasionalisme.
Isu utama yang menyita perhatian orang-orang Cina selama dua dekade pertama adalah gerakan nasionalisme pan-Cina. Pergerakannya di kawasan Hindia Belandaberpusat pada sebuah lembaga bernama Tiong Hua Hui Koan (THHK) yang di bentuk pada 1900. tujuan utamanya adalah memecahkan dinding pemisah antara peranakan dengan totok juga antara kelompok dialek lainnya. Meskipun keadaan ekonomi totok kelahiran Cina pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan posisi peranakan, bukan berarti tidak ada individu Cina totok yang kaya raya, apalagi mengingat para ketua perkumpulan siang hwee kebanyakan adalah tokoh Cina asli. Pengusaha totok tidak harus lebih kaya dan makmur di bandingkan usaha peranakan. Tetapi berbeda dengan THHK, setelah didiriknnya siang hwee telah memiliki hubungan dekat dengan lingkarsn kekaisaran dan dengan kebijakan Cina, tidak saja di Hindia Belanda namun di daerah-daerah lain di Nanyang. Mereka yang tidak bisa berbahasa Cina di pastikan hampir dipastikan tidak bisa dekat dengan Kaisar Qing, dan tidak akan diterima dalam perlindungan dan naungannya. Peran siang hwee dapat disamakan dengan peran dan fungsi konsulat Cina yang mewakil kekaisaran. Siang hwee yang sangat erat dengan pemerintahan Cina ini tidak bisa di toleransi oleh penguasa kolonial pendataan populasi dan pekerjaan masyarakat Cina yang dilakukan siang hwee atas perintah kaisar Qing pada 1909 disusul dengan tertangkapnya ketua siang hwee di Yogyakarta, dan memicu ketegangan di seluruh Jawa. Para pemimpin siang hwee di jawa uga tidak di percaya oleh penguasa kolonial untuk menjadi pejabat pemerintahan, yang merupakan jabatan yang paling tinggi bagi masyarakat Cina.

Upaya pertama Belanda untuk memberikan kedudukan hukum yang sama bagi warga Cina-Eropa di lakukan pada awal 1907. Namun demikian yang memenuhi syarat ini dibatasi hanya orang-orang yang menguasai bahasa Belanda dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu. Sebenarnya tawaran ini di tolak oleh masyarakat Cina. Salah stu penolakan adalah starat yang di ajukan akan menimbulkan ketegangan antar kelas di dalam masyarakat Cina. Bagi pihak Belanda sendiri, ini mungkin adalah strategi mereka untuk mengadu domba dan memecah belah. Jika penolakan ini ada kaitannya dengan sangat kecilnya komunitas Cina yang mampu berbahasa Belanda, pemerintah kolonial harus mewaspadai bahwa di banyak daerah, THHK telah melahirkan generasi-generasi muda yang memusuhi dan cenderung membangkang aturan-aturan Belanda. Mereka yang telah terdaftar dalam sekolah THHK tidak akan memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah Belanda Cina. Dengan cara ini pemerintah Belanda berhasil menghilangkan suatu gerakan penting pergerakan nasionalis Cina. Dengan adanya sekolah Belanda-Cina, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai medium pengajaran, komunitas peranakan terbagi menjadi kelompok-kelompok berbahasa Indonesia dan berbahasa Belanda. Dan karena pihak Belanda memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus Hollandsch-Chineesce Scholen (HCS), bukannya sekolah umum berbahasa Belanda bagi kalangan elite Indonesia dan Cina, hanya di sekolah-sekolah lanjutan dan di Universitaslah pelajar dari kedua kelompok etnis itu bertemu. Politik pecah belah menjadi berakibat ganda dalam hal ini. Di saat yang sama, terjadi suatu persaingan keras antara pelajar-pelajar dari sekolah berbahasa Cina dan sekolah berbahasa Belanda, dan ini akan memunculkan sikap saling memusuhi di kemudian hari. Arah perkembangan ini menunjukan kelompok peranakan dan totok, yang bersama-sama menggulirkan gerakan pan-Cina, tidak memiliki pola pikir yang sama. Alasan yang mendasar tindakan-tindakan kelompok tersebut saling berlainan. Sepuluh tahun setelah sekolah Belanda-Cina pertama berdiri, status warga negara Eropa kembali ditawarkan kepada masyarakat Cina dengan banyak sekali persyaratan, tahun ini pula merupakan akhir dari gerakan pan-Cina. Dalam kurun waktu dua tahun, 522 warga Cina yang yang berpendidikan Belanda, tetntu saja berhasil status warga negara Eropa.

Seperti yang telah di jelaskan kebijakan politik Belanda terhadap masyarakat Cina telah memecah belah komunitas peranakan dan menciptakan kelompok-kelompok kecil kalangan elite berpola hidup barat yang terpisah dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat lapisan bawah. Jika CHH adalah sebuah kelompok yang terlalu konservatif untuk mau bersimpati kepada perjuangan nasionalisme Indonesia. Jika ada totok kelahiran lokal, juga ada kelahiran Cina yang memiliki ciri-ciri peranakan, kebanyakan kelahiran Cina ini mendarat semasa masih kecil. Beberapa imigran anak-anak dan dewasa telah memiliki saudara di Hindia Belanda yang telah mapan atau bahkan kaya raya. Dalam kasus kali ini para pendatang baru tersebut telah memiliki dasar yang kuat untuk memulai usaha. Meski terlahir di Cina, mereka telah memiliki silsilah dan landasan bisnis di Hindia-Belanda, mereka tidak perlu merangkak dari bawah. Mungkin juga mereka telah memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan mampu mengembangkan kemampuan berbahasa setelah tiba di Indonesia. Peningkatan tajam populasi totok dan eksistensi kelompok elit totok awal abad ke-20 ini telah menciptakan suatu landasan kuat bagi perluasan cakupan ekonomi kelompok totok secara keseluruhan. Salah satu perbedaan utama antara kelompok totok dengan kalangan elite berpendidikan Belanda tampaknya adalah bahwa kelompok pertama cenderung tidak terlalu kebarat-baratan dan modern dalam menyikapi beberapa hal penting. Karena mereka terlahir di Cina, ada suatu ikatan antara individu dengan tanah kelahirannya, bakan ketika mereka mau menerima jabatan-jabatan pemerintahan, bersanding dengan penguasa Belanda. Namun demikian kekuatan dari ikatan ini sangat beragam. Tjong misalnya, adalah pemerakarsa di bangunnya jalan kereta api Chaoshan yang terkenal itu di masa akhir kekuasaan dinasti Qing. Pewaris jabatan kaptennya, Khoe Tjin Tek, menerima setifikat tanda jasa dari Sun Yat Sen atas sumbangnnya dalam revolusi Kuomintang tahun 1911, dan bersama sebagian besar pemimpin komunitas Cina di Hindia-Belanda, ia ambil bagian dalam gerakan anti nasionalisme jepang di pesisir Timur Sumatera.

Money lending atau kredit sering muncul sekali dalam analisi-analisis politik dan sosial ekonomi Indonesia, dan orang menjadi tukang kredit pun adalah orang Cina. Pengar yang snagt merugikan dari para tukang kredit ini terhadap kalangan petani cukup dahsyat menghantam perekonomian Indonesia, namun demikian sangat sedikit penelitian yang di lakukan terhadap penomena ini. Dari hasil sensus tahun 1930 terdaftar sejumlah 5.336 orang Cina yang berprofesi meminjamkan uang di Jawa, yang sebagian besara dalah kelompok totok kelahiran Cina. Di luar Jawa tukang kredit Cina hanya sebagian kecil saja bahkan sedikit sekali di bandingkan di Jawa. Kegiatan mereka erat kaitannya dengan petani dan bidang agrikultur, dan biasanya akan berakhir dengan penyitaan tanah oleh tukang kredit tersebut. Disisi lain si tukang kredit tersebut adalah pengusaha tempat di mana para petani itu menjual hasil panen mereka . Terdapat banyak sekali macam keadaan dimana uang dari berbagai sumber di pinjamkan kepada petani. Beberapa tukang kredit mungkin tidak dapat di pandang sama dengan kebanyakan pemberi kredit lain dalam kaitannya dengan hukum. Misalnya peraturan perkreditan tahun 1938 tidak mendefinisakan hal berikut sebagai aktivitas peminjaman uang, yaitu membayar uang muka oleh para pedagang hasil bumi lokal sebelum masa panen, dan penjualan barang-barang perkreditan oleh para pengusaha kepada konsumen. Figur kreditur Cina telah banyak di pandang rendah mengingat hanya sedikit orang-orang Cina yang melekukan transaksi kredit secara institusional. Hal ini menitik beratkan pada kajian perkreditan yang profesional, yang lebih tepat di sebut kredit angsuran, sebagian besar di praktekan oleh marga Hokchia, dan oleh Hinhua dan Hokchew. Spesialisasi Hokchew dalam hal ini dapat di hubungkan khususnya dengan keterlambatan kedatangan mereka sebagai sebuah kelompok dialek. Posisi sosial dan ekonomi suatu kelompok dialek di dalam komunitas totok di tentukan oleh jenis pekerjaan yang ditekuni anggota-anggota kelompok tersebut, area geografis dagang mereka, serta persyaratan fisik dari pekerjaan tersebut. Terdapat referensi berdasarkan fakta bahwa di dekade awal abad ke-20, para singkehlah yang cenderung bermukim di daerah pedalam atau pedesaan. Mereka bisa jadi kelompok Cina yang datang dengan dukungan ekonomi kecil. Hokchia yang datang tahun 1930-an cenderung hanya mewarisi pekerjaan khusus kelompok dialek ini. Memang beberapa Hokchia beroperasi di perkotaan yang lebih makmur, termasuk di pasar-pasar pribumi dan di daerah-daerah kalang pejabat pribumi. Akan tetapi lahan utama mereka adalah daerah pedesaan. Tidak seperti Hakka yang mengelola warung atau toko kelonto, tukang kredit Hokchia cenderung lebih masuk ke daerah-daerah pedesaan terpencil. Seorang Hokchia yang baru saja pertama kali tiba di Jawa akan di ajari dasar dari bentuk ini dan mempelajari istilah-istilah penting untuk dapat berkomonikasi dengan masyarakat Indonesia. Biasanya orang-orang Hokchia yang berasal dari marga yang sama dan telah lebih dahulu bermukim di daerah tersebut akan memberi tumpangan sementara dan mengajari mereka tentang usaha ini. Dan di lakukan tanpa memperhatikan tingkat pendidikan si pendatang. Pembatas antara beberapa kelompok dialek hampir membolehkan siapapun untuk melangkah melampaui bentuk dasar dari kehidupan sosial dan ekonomi masing-masing.

Oleh sebagian besar kelompok dialek lainnya, hokchia memiliki rasa solidaritas kelompok yang sangat kuat hal ini tampak jlas dari kehidupan sosio-ekonomi kelompok minoritas dalam minoritas lain. Posisi ekonomi Hokchia yang lebih rendah ini menjelaskan mengapa para tukang kredit cenderung berkelompok.s situasi pada 1919 tetap bertahan hingga 1930-an. Sebuah kelompok terdiri atas 3 sampai 30 pemuda tinggal bersama dalam satu rumah oleh pihak belanda di sebut kongsi. Istilah kongsi sering di salah artikan bahwa rumah ini adalah rumah sewaan, bukan milik pribadi. Selain itu tidak dapat di sebut rumah karena hanya berupa sebuah kamar atau ruangan dan selalu sangat sederhana. Sebagian mungkin di karenakan mereka tinggal sebagai sebuah kelompok, sehingga beberapa pemilik rumah enggan menyewakan banyak kamar untuk mereka. Kondisi kehidupan kelompok Hokchia ini bahkan tidak tampak baha mereka adalah pengusaha kecil.lebih mirip kuli keng di kawasan selat dalam periode yang sama. Tukang kredit ini mengendarai sepeda yang penuh dengan bahan tekstil, masuk ke desa-desa di pagi hari dan kembali setelah sore, atau bahkan beberapa hari sekali untu daerah-daerah tertentu. Pekerjaan membutuhkan para pekerja buruh kasar dan juga kemampuan membujuk penduduk pribumi, dua hal yang tidak dimiliki kelompok peranakan baik yang menguasai bahasa Indonesia atau Melayu maupun Belanda.
Ganggunan terhadap dunia perdagangan yang telah mapan bahkan telah terjadi sebelum Jepang datang. Beberapa bulan sebelum perang banyak fasilitas perekonomian belanda telah di pindahkan dari kota-kota besar ke daerah pedalaman untuk mengantisipasi gangguan pihak luar. Pengusaha-pengusaha besar Cina di kota utama juga memindahkan barang-barang simpanan mereka ke kota-kota sekunder atau ke pedalaman. Di Jawa Barat kota-kota pinggiran seperti Sindanglaya, Cibadak dan Bogor lebih banyak dipilih, evakuasi semacam ini pila tidak di lakukan oleh para pengusaha besar saja namun juga para pengusaha menengah kebawah dan orang-orang Cina awam, semakin meningkat ketika perang Hindia-Belanda di kobarkan. Paling tidak dalam beberapa kasus pengusaha Cina menerima perintah dari pengusaha Belanda untuk mengungsi sebagian mungkin untuk memudahkan pelaksaan politik bumi hangus mereka. Banyak pabrik diratakan dengan tanah oleh para korps peledak dan tentara Belanda. Dari 130 penggilingan padi di Jawa tahun 1940, hanya 32 yang luput dari penghancuran ini. Firma Oey Tiong Ham, misalnya kehilangan sedikitnya dua pabrik dengan cara seperti ini.selain itu sama pentingnya bagi para pemimpin komunitas Cina adalah bahwa mereka bagaimana pun di kait-kaitkan dengan aktivitas-aktivitas pihak Jepang sebagai perwujudan sikap permusuhan. Situasi yang muncul justru sangat jauh sekali dari apa yang di bayangkan para pengusaha Cina pengungsi ini. Ketika pasukan Jepang mendarat di Sumatera dan Jawa, kerusuhan timbul di mana- mana. Gudang-gudang besar dan pabrik-pabrik Belanda di jarah oleh masyarakat Indonesia, pada beberapa kasus banhkan pintu-pintu di buka secara lebar oleh tentara Jepang. Masyarakat Cina juga tak luput dari sasaran empok perampokan dan penjarahan. Akan tetapi akibat campur tangan tentara Jepang tindakan anarki ini segera dapat di akhiri dalam tempo beberapa hari. Ratusan keluarga Cina pindah ke kota demi keamanan. Banyak dari mereka yang kemudian menetap, hingga menambah jumlah populasi Cina di kota besar.

Penjarahan dan perampokan ini sebagian besar dilakukan oleh masyarakat Indonesia golongan bawah. Bentuk penjarahan dan pengrusakan lain terjadi para kelas pengusaha pribumi, persaingan dagang ternyata menjadi permasalah utama dalam hal ini. Mungkin karena hal inilah , semua kecuali pabrik tekstil Cina di ratakan dengan tanah. Situasi dimana pabrik-pabrik ini di hancurkan sangat menarik, dilakukan dengan alasan atas perintah Belanda. Meskipun ancaman berbahaya yang di lakukan masyarakat Indonesia tidak di duga oleh masyarakat Cina, kebanyakan dari mereka sudah siap mengantisipasi kedatangan Jepang namun demikian pada umumnya kalangan Indo-Cina lebih ringan dalam menyikapi invasi Jepang . Sebagian pengusaha besar bahkan menawarkan tenaga mereka untuk penguasa baru ini.ternyata bukan hanya Cina saja yang tekibat dlam aktivitas-aktivitas sosial dan politik yang dianggap memusuhi tersebut. Kategori Cina lain sedikit banyak berada dalam posisi sulit yang janggal. Mereka yang telah menikah dengan orang Belanda atau orang Eropa lainnya di anggap dekat dengan musuh Jepang yang sebenarnya adalah Indoneia. Anak-anak mereka yang berdarah Eurosian kemudian di perlakukan aga lunak di bandingkan anak-anak Eropa pada umumnya. Di lain pihak Eropanisasi setatus kewarganegaraannya semakin terhenti sama sekali. Ratusan warga Cina yang telah berwarga negara Belanda dilema, dalm beberapa hal setidaknya mereka diperlakukan sebagai orang Eropa dan harta benda mereka berada di bawah pengawasan Departemen Harta Benda Musuh (Takisan Kanribu). Departeman ini memiliki cabang-cabang dan cabang-cabang pembantu di berbagai wilayah Indonesia.
Menjelang berakhirnya kekuatan Jepang, kekuatan nasionalisme dominan di Indonesia mulai bersiap menerapkan sisitem ekonomi sosialis, yang pada prakteknya akan mengangkat perusahaan-perusahaan negara dan mendorong bangkitnya sektor bisnis pribumi, yang pada gilirannya akan menelantarkan perdagangan kalangan Cina. Pada bulan pertama revolusi, pemerintah Republik menyatakan kesanggupan untuk menerima modal dari Belanda. Kurang dari setahun kemudian modal pengusaha Indo-Cina dinyatakan tidak di butuhkan lagi. Kemudian akan di tunjukan langkah-langkah dan kebijakan pemerintah Republik dan masyarakat Cina sehubungan dengan dunia perdagangan Indo-Cina dan modal dari Belanda. Terjadi banyak perubahan yang penting di Jawa pada 1945, terutama pada bulan-bulan terakhir penjajahan Jepang. Setelah perdana mebtri mengumumkan bahwa kemerdekaan Indonesia akan di berikan kelak masa mendatang kemerdekaan benar-benar akan segera di proklamasikan. Meskipun banyak para ahli yang mentengarai isu tersebut berbau politik, isu ini menarik perhatian para pemimpin Jepang, Indonesia dan Cina adalah mengenai sifat dasr struktur ekonomi Indonesia setelah hengkangnya Jepang. Aset perekonomian dalam jumlah besar, termasuk perusahaan-perusahaan yang tadinya milik Belanda, di pertaruhkan disini. Slah satu isu yang snagt signifikan adalah seberapa jauh masyarakat Cina diperbolehkan untuk ikut mengambil dalam bagian perekonomian Indonesia Merdeka sehubungan dengan bangkitnya kelas pengusaha pribumi. Di kesempatan yang sama ide-ide ambigu tentang perekonomian sosialis muncul dari kalangan Indonesia kelas menengah kebawah bahasan tentang bagaimana seharusnya memprplakukan perusahaan-perusahaan milik Belanda dari masa sebelum masa penjajahan jepang tidak terlalu menonjol. Gerakan perubahan lebih terfokus pada fenomena konflik antara pengusaha Cian dengan Indonesia juga sedikit menyoroti tema tentang Nasionalisme. Surutnya sektor perdagangan Cina di masa revolusi memiliki dua sebab. Satu adalah kebijakan ekonomi Hatta terhadap kalangan Cina, yang melemahkan kekuatan ekonomi dan posisi mereka di wilayah Republik Indonesia. Penyebab lain adalah penolakan hak kepemilikan harta kekayaan Cina, yang semakin memperburuk posisi dagang mereka yang sudah stagnan kala iti. Sebagian besar berkaitan dengan pemaksaan pemberian sumbangan finansial untuk berbagai organisasi pribumi, penyitaan dan pengambilan harta kekayaan, kerusakan akibat perang, penjajahan, dan perampokan. Kerja sama ekonomi pemerintah Indonesia dengan Belanda pun semakin mempersempit kesempatan dagang pengusaha Cina di daerah-daerah kekuasaan Belanda.

Konflik Indonesia-Belanda memunculkan dua pola perdagangan unik, yaitu pasar gelap di darat dan laut, istilah yang di gunakan pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut seluruh aktivitas perdagangan di luar kontrolnya. Kedua pola dagang ini muncul di Jawa dan Sumatera. Di jawa pasar gelap darat adalah bentuk utama yang perlu di perhatikan mengingat ikatan dan aktivitas bahari yang menghubungkan Jawa dengan dunia luar akan sangat mudah di patahkan oaleh Angkatan Laut Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar